Dampak Cukai Naik Tinggi, Pemerintah Harus Waspadai Peredaran Rokok Ilegal


Merdeka.com - Ekonom Universitas Padjajaran, Bayu Kharisma menyebut bahwa keputusan pemerintah menaikkan cukai dan Harga Jual Eceran mulai 2020 berpotensi meningkatkan peredaran rokok ilegal.
Menurutnya, jumlah industri yang legal memproduksi rokok akan menurun karena berat untuk membeli pita cukai, sehingga kemungkinan besar perusahaan-perusahaan, khususnya yang menengah ke bawah pun akan membeli rokok tanpa pita cukai.
Akibatnya rokok yang dijual menjadi rokok ilegal, di mana diprediksi bahwa rokok ilegal lebih terpusat di daerah-daerah, dan menyasar konsumen yang menengah ke bawah.
"Kenaikan cukai rokok sampai 23 persen sangat tinggi dan diprediksi akan menurunkan penjualan rokok dan berdampak luas kepada hal lainnya seperti pengangguran, inflasi termasuk rokok ilegal yang disebabkan oleh menurunnya tingkat volume penjualan ini," katanya seperti dikutip dari Antara.
Oleh karena itu, tambahnya, kenaikan cukai rokok yang optimal sekitar 10-12 persen dan kenaikan harga eceran berkisar di bawah 15 persen.
Sebelumnya, rencana kenaikan cukai sudah cukup berat bagi pelaku industri, apalagi jika dibebani dengan simplifikasi dan penggabungan.
Ketua Asosiasi Petani Tembakau (APTI), Agus Parmudji mengatakan, simplifikasi tarif cukai hanya akan mematikan industri kretek nasional, yang merupakan penyerap tembakau petani lokal bahkan nasional.
"Dengan pemberlakuan simplifikasi, industri tembakau akan kian tergerus, pengusaha pabrikan kecil tidak mampu bertahan dan akibatnya penyerapan tembakau lokal semakin rendah, kehidupan petani pun terancam," kata Agus di Jakarta, Sabtu (20/7).
Peneliti Universitas Padjajaran (UNPAD), Mudiyati Rahmatunnisa menambahkan, penyederhanaan cukai rokok akan menimbulkan pengurangan volume produksi olahan tembakau. Industri Hasil Tembakau (IHT) yang posisinya berada di lapisan yang dihilangkan akan membayar cukai pada lapisan di atasnya dengan harga yang lebih tinggi.
"Pengurangan produksi berkaitan dengan pertumbuhan penerimaan pendapatan (negara)," imbuhnya.
Mudiyati mengungkapkan, akan terjadi penurunan pada pertumbuhan pendapatan negara dari cukai tembakau. Penurunan tersebut diakibatkan dari penurunan volume produksi olahan tembakau. "Asumsi penyederhanaan cukai tembakau berdampak pada peningkatan negara menjadi tidak mendasar," tuturnya.
1 dari 1 halaman

Penerimaan Cukai

Kementerian Keuangan mencatat capaian penerimaan cukai per 31 Agustus 2019 sebesar Rp93,12 triliun. Capaian ini 56,27 persen dari target penerimaan cukai tahun 2019 yang sebesar Rp165,50 triliun.
Penerimaan cukai berasal dari 3 komponen yaitu Cukai Hasil Tembakau (CHT), Minuman Mengandung Etil Alkohol (MMEA), dan Etil Alkohol (EA). Kinerja positif penerimaan cukai sepanjang tahun ini dikontribusi terutama oleh penerimaan CHT yang tumbuh signifikan sejak awal tahun, diikuti oleh penerimaan cukai MMEA.
"Capaian penerimaan cukai sendiri adalah yang tertinggi dibandingkan dengan komponen penerimaan yang lain," kata Menteri Keuangan, Sri Mulyani, di Jakarta, Selasa (24/9).
Penerimaan CHT hingga bulan Agustus 2019 adalah sebesar Rp88,97 triliun atau tumbuh sebesar 18,60 persen dibandingkan capaian 2018. Pertumbuhan penerimaan CHT sepanjang 2019 merupakan yang tertinggi sejak 3 tahun terakhir.
Pertumbuhan positif CHT didorong oleh kebijakan relaksasi pelunasan pembayaran pita cukai, ditambah program penertiban cukai berisiko tinggi (PCBT) yang semakin gencar dalam memerangi peredaran rokok ilegal.
Sementara, penerimaan cukai MMEA sampai dengan akhir bulan Agustus 2019 mencapai Rp4,02 triliun atau tumbuh 17,3 persen dibandingkan capaian pada periode yang sama 2018.
Kinerja positif penerimaan cukai MMEA salah satunya dikontribusikan oleh program PCBT, yang berperan dalam mengurangi peredaran minuman beralkohol ilegal.
Capaian cukai EA per 31 Agustus 2019 adalah sebesar Rp0,08 triliun atau 51,82 persen dari target yang diamanatkan pada APBN 2019 yang sebesar Rp0,16 triliun.
Sumber:Merdeka.com
Share:

Recent Posts